Apa Yang Membuat Seseorang Bernilai di Mata Orang Lain?
- eko wahyudi
- Aug 30
- 3 min read

Pada tahun 1950an, sebuah merek bernama Betty Crocker yang menjual adonan kue sedang menghadapi masalah. Penjualan adonan kue mereka sangat lesu sehingga berdampak negatif terhadap bisnis.
Di atas kertas, produk mereka bukanlah produk gagal. Rasanya enak, praktis, dan dirancang untuk memudahkan ibu rumah tangga di Amerika yang makin sibuk dengan aktivitas di luar rumah.
Tapi kenyataannya? Produk ini ditolak pasar.
Setelah melakukan riset lebih dalam, mereka menemukan jawabannya: produk ini terlalu mudah.
Orang-orang merasa mereka tidak benar-benar membuat kue, hanya mencampur air dan memasukkan ke oven. Tidak ada usaha.
Akhirnya, tim dari Betty Crocker melakukan perubahan kecil yang berdampak besar.
Mereka menghapus telur dari campuran dan mulai memberi instruksi: “Tambahkan telur sendiri di rumah.”
Hasilnya?
Penjualan membaik.
Karena ada proses tambahan yaitu mengaduk telur, konsumen merasa ada proses dalam pembuatan kue bukan sekedar mendapatkan yang langsung jadi.
Proses ini yang membuat kue mereka lebih berharga.
Fenomena ini dikenal sebagai IKEA Effect:
Ketika kita sudah berusaha untuk sesuatu, kita cenderung lebih menghargainya — bahkan jika hasilnya sama. [2]
Tapi bagaimana jika kita diminta memilih antara uang dan mug? Mana yang lebih bernilai?
Dalam sebuah penelitian, para peserta diberikan dua pilihan:[3]
Sebuah mug
Sejumlah uang
Peserta perlu memilih salah satu. Sederhana bukan? Sama sekali tidak karena peserta dibagi dalam dua kelompok berbeda.
Kelompok pertama disebut dengan future effort.
Mereka ditanya:
“Kamu bisa ambil mug ini... tapi harus naik tangga dulu. Satu, dua, atau bahkan tiga lantai. Masih mau mug-nya? Atau ambil uang aja, tanpa capek-capek?”
Kebanyakan dari mereka memilih uang. Ini karena tentu saja memilih mug terasa seperti sebuah beban karena mereka harus menaiki tangga dulu. Rasanya tidak sebanding dan tidak masuk akal jika memilih mug.

Kelompok kedua disebut dengan past effort.
Kelompok ini bukan akan naik tangga tapi sudah menaiki tangga lalu diberikan mug. Artinya mereka sudah berusaha mendapatkan mug.
Lalu mereka ditanya:
“Sekarang kamu bisa pilih: ambil uang, atau simpan mug yang kamu dapetin tadi setelah naik tangga.”
Hasilnya? mengejutkan.
Banyak yang justru memilih mug-nya, walaupun sebelumnya mereka mungkin lebih pilih uang.
Kenapa?
Karena usaha yang sudah dilakukan membuat mug itu terasa lebih berharga.
Istri saya pernah mengatakan jika salah satu hal romantis yang dia suka dari saya adalah saat saya bangun lebih pagi dari dia lalu ke pergi ke pasar dan memasak.
Saya bisa dibilang lebih malas bangun pagi dari istri saya. Dia lebih sering bangun lebih pagi dan saat saya tertidur, dia sudah sibuk di dapur. Saya juga bukan orang yang pintar dan rajin memasak. Kadang masakan saya enak kadang tidak begitu enak.
Bagi dia, usaha saya untuk bangun lebih pagi, ke pasar dan sibuk di dapur saat dia masih tertidur membuat masakan yang tidak enak serasa enak.

Ini persis seperti yang digambarkan oleh IKEA Effect dan penelitian mug diatas.
Usaha yang sudah dilakukan—meskipun kecil, meskipun hasilnya tidak sempurna—bisa membuat sesuatu terasa jauh lebih berarti.
Tidak karena nilai objeknya berubah, tapi karena kita mengaitkan nilai dengan perjuangan.
Dalam kasus Betty Crocker, hanya menambahkan satu butir telur membuat orang merasa mereka benar-benar membuat kue dan karena itu, kue tersebut terasa lebih berharga.
Dalam studi mug, menaiki tangga lebih dulu membuat mug lebih berharga dari sejumlah uang bukan karena bentuknya berubah, tapi karena ada keringat dan usaha dalam mendapatkan mug tersebut.
Dalam pernikahan saya, masakan sederhana yang dibuat dengan usaha seadanya terasa istimewa di mata istri saya — bukan karena rasanya, tapi karena ada usaha.
Dan inilah benang merahnya:
Nilai bukan selalu tentang hasil. Nilai seringkali datang dari waktu dan tenaga yang kita habiskan.
Ini adalah esensi dari IKEA Effect. Bahwa apa pun yang kita perjuangkan, cenderung akan kita hargai lebih tinggi.
Dan ini berlaku bukan hanya untuk barang atau makanan, tapi juga untuk hubungan, pekerjaan, bahkan manusia itu sendiri.
Seorang murid yang berusaha keras walaupun membuat kesalahan, akan lebih disukai gurunya dari seorang murid yang malas.
Seorang teman yang rela datang jauh-jauh hanya untuk mendengar curhatan kita, terasa lebih berharga dibanding teman yang cuma hanya mengetik “semangat ya” disertai emoticon dari jauh.
Seorang ibu rumah tangga yang berhenti bekerja, berjuang tiap pagi antar jemput anak sekolah, tetap mengerjakan pekerjaan rumah, dan menyisihkan waktu untuk menemani belajar mungkin tak sempurna, tapi justru karena itulah mereka begitu tak tergantikan.
Jadi, jika Anda bertanya:
Apa yang membuat seseorang terasa berharga di mata orang lain?
Mungkin jawabannya sederhana:
Karena kita sudah berjuang untuk mereka.Atau karena mereka pernah berjuang untuk kita.
Kadang kita tidak jatuh cinta pada hasil terbaik. Kadang kita jatuh cinta pada usaha terbaik, yang tidak terlihat tapi kita tahu ada.
Semoga membantu.
Catatan Kaki
Comments