Kita Salah: Luka Batin itu Tidak Menghilang Seiring Waktu
- eko wahyudi
- Apr 1
- 3 min read

Apa yang ada di pulau ini?
Batu bara dan manusia.
Hashima adalah tambang batu bara raksasa yang berdiri di atas pulau kecil berbatu, dikelola oleh Mitsubishi sejak akhir abad ke-19. Saat Jepang sedang membangun industrinya untuk mengejar negara-negara barat, batu bara adalah bahan bakar utama—dan Hashima adalah salah satu pemasok utamanya.
Namun saat Jepang akhirnya dikalahkan oleh negara barat, Hashima tidak lagi berjaya. Hashima ditinggalkan. Yang tersisa hanya sebuah pulau kecil penuh dengan bangunan raksasa. Namun Hashima meskipun sudah ditinggalkan, masih terlihat seperti kapal perang walaupun dunia sudah tidak lagi berperang.
Pada tahun 2015, Jepang mengusulkan ke UNESCO agar Hashima dijadikan situs warisan dunia.
Alasannya? Karena Hashima dianggap sebagai simbol kemajuan industri Jepang. Pulau itu adalah bukti nyata bagaimana Jepang pernah bangkit dari negara feodal menjadi kekuatan industri modern. Gedung-gedung beton pertama di Jepang berdiri di sana. Teknologi, arsitektur, dan produktivitas tinggi dijadikan alasan untuk merayakan Hashima sebagai warisan yang patut dijaga.
Namun Korea Selatan dan China menentang keras ide ini. Mereka tidak setuju jika Hashima dijadikan sebuah warisan budaya.
Kenapa? Ada fakta yang Jepang tidak ungkapkan.

Selama masa perang, saat Jepang kekurangan tenaga, ribuan orang Korea dan China dibawa secara paksa ke Hashima untuk dijadikan budak tambang. Mereka tinggal dalam barak sempit, makan seadanya, dan bekerja hingga tubuh mereka tidak sanggup lagi berdiri.
Dalam wawancara tahun 1985, Suh Jung Woo mengenang penderitaannya:
Dia menggambarkan kondisi di dalam tambang yang mencapai suhu 37 hingga 38 derajat Celsius, menyebabkan rasa haus yang luar biasa dan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Makanan yang disediakan pun sangat tidak layak sehingga sering menyebabkan masalah pencernaan.
Dan Jika para pekerja sakit, atau terluka, mereka tidak dirawat, Mereka dibiarkan. Dan jika mereka mati, tubuh mereka tidak dibawa pulang.
Didekat Hashima, ada sebuah pulau kecil bernama Nakanoshima. tempat dimana krematorium berada. Disanalah jasad para pekerja dibakar berubah menjadi kepulan asap hitam di langit.
Dan inilah fakta tentang Jepang yang tidak diungkapkan Jepang tentang Hashima. Cina dan Korea menentang keras usul menjadika Hashima sebagai warisan budaya karena Hashima telah banyak membunuh warga mereka.
Pada tahun 2008, terjadi sebuah tragedi di Northern Illinois Univeristy, Amerika Serikat. Steven Kazmierczak dengan senjatanya masuk ke ruang kuliah penuh dengan mahasiswa lalu menembakkan senjata tersebut.
Lima orang meninggal. Dua puluh satu orang terluka
Lalu ada tragedi lain yang sama yang terjadi di Virgina Tech-seorang pria menembakkan senjata ke kerumunan yang menewaskan 32 orang.
Dua psikolog, Amanda Vicary dan R. Chris Fraley menyayangkan kejadian ini. Tapi mereka juga menjadikan kejadian ini sebagai sebuah penelitian. Mereka ingin tahu, bagaimana perkembangan trauma mereka beberapa bulan setelah kejadian penembakan yang menewaskan teman-temannya.
Mereka mewawancarai mahasiswa dari kedua kampus—dua minggu setelah kejadian, dan dua bulan setelahnya.
Apa yang mereka temukan?
Sebagian besar mahasiswa mengalami gejala depresi dan PTSD.
Dan yang mengejutkan adalah, dua bulan setelahnya, luka mereka tidak banyak berubah. Padahal mereka sudah melakukan banyak hal: bergabung dalam grup Facebook untuk berbagi, curhat lewat chat, mengirim pesan, dan saling menguatkan.
Mereka merasa lebih ringan tapi luka itu masih ada.
Apa persamaan sejarah kelam Hashima dan dua kejadian penembakan diatas?
Persamaannya adalah satu hal yang sering kita abaikan karena terdengar terlalu sederhana:
Waktu tidak menyembuhkan semua luka.

Cina dan Korea menolak keras usul menjadikan Hashima sebagai warisan budaya dunia karena mereka masih sakit dengan perlakuan Jepang ke warganya yang menjadikan budak tambang. Sedangkan para mahasiswa yang menjadi saksi dalam penembakan masih membawa luka itu dalam diam.
Lalu kenapa ada orang yang terlihat biasa saja setelah mengalami kejadian yang melukai hatinya?
Puisi ini menunjukan jika luka batin bukan sesuatu yang dihapus oleh waktu melainkan sesuatu yang menjadi bagian dari diri kita.
Ia menetap, kadang diam, kadang terasa lagi, tapi tidak benar-benar hilang. Yang berubah bukan lukanya tapi kemampuan kita untuk beradapatasi dengan luka tersebut.
Kita tumbuh. Kita belajar menata hidup di sekeliling luka itu. Luka tidak mengecil, tapi ruang dalam diri kita membesar.
Dan mungkin memang seperti itulah cara kita pulih—bukan dengan menghapus rasa sakit, tapi dengan menerimanya sebagai bagian dari hidup kita.
Semoga membantu.
Comments